Mapena News - Tekanan Global dan Lahirnya Peternakan Presisi
Permintaan
global terhadap produk hewani diprediksi meningkat 70% dalam tiga dekade
mendatang. Di sisi lain, lahan peternakan semakin terbatas, dan kesadaran akan
kesejahteraan hewan serta dampak lingkungan terus menguat. Di tengah dilema
ini, Peternakan Presisi (Precision Livestock Farming/ PLF) muncul
sebagai solusi revolusioner. Dengan memanfaatkan sensor, big data,
dan kecerdasan artifisial (Artificial Intelligence/ AI), PLF
memungkinkan peternak mengoptimalkan produktivitas sekaligus meminimalkan kerugian
ekonomi dan ekologis. Seperti diungkapkan dalam penelitian Suresh Neethirajan
(2020), teknologi ini bukan sekadar tren—ia adalah kebutuhan mendesak untuk
menjawab tantangan pangan abad ke-21. PLF mengubah paradigma lama: dari
mengandalkan intuisi manusia menjadi berbasis data real-time yang
akurat.
Sensor, Big Data dan Machine Learning —Mata dan Otak Peternakan Modern
Kunci
dari Peternakan Presisi terletak pada kemampuan mengumpulkan dan menganalisis
data secara masif. Sensor seperti akselerometer, kamera termal, dan RFID (Radio
Frequency Identification) menjadi "mata" yang tak pernah lelah
memantau perilaku, kesehatan, dan lingkungan hewan. Contohnya, sensor gerak
dapat mendeteksi perubahan aktivitas sapi yang mengindikasikan penyakit seperti
laminitis sebelum gejala klinis muncul. Data ini kemudian disimpan di platform
cloud dan diolah algoritma machine learning untuk menghasilkan
rekomendasi konkret—mulai dari formulasi pakan hingga prediksi waktu beranak
dengan akurasi di atas 90%. Di industri unggas, sensor udara mampu mendeteksi
peningkatan senyawa organik volatil (Volatile Organic Compounds/ VOC)
sebagai tanda awal wabah Coccidiosis. Dengan PLF, peternak tak lagi bekerja
secara reaktif, tetapi menjadi problem-solver yang proaktif.
Prediksi Penyakit
dan Pengurangan Ketergantungan Antibiotik
Salah
satu kontribusi terbesar PLF adalah kemampuannya mencegah wabah penyakit. Di
masa lalu, peternak kerap terlambat menyadari infeksi hingga hewan mati atau
terpaksa menyuntikkan antibiotik secara masif—praktik yang memicu resistensi
antimikroba. Kini, kombinasi sensor dan AI memungkinkan deteksi dini. Misalnya,
penelitian terhadap ayam broiler menunjukkan bahwa perubahan vokalisasi bisa
diidentifikasi oleh jaringan saraf tiruan (Artificial Neural Network/ ANN)
dengan akurasi 100% pada hari kedelapan infeksi Clostridium perfringens.
Pada sapi perah, algoritma seperti Random Forest mampu memprediksi
mastitis melalui analisis sel somatik dan konduktivitas susu. Dengan intervensi
tepat waktu, penggunaan antibiotik bisa ditekan hingga 30%, mengurangi risiko
resistensi sekaligus memangkas biaya produksi. PLF tidak hanya fokus terkait
efisiensi—namun merupakan langkah nyata menuju peternakan yang lebih mensejahterakan
hewan dan ramah lingkungan.
Optimalisasi Pakan
dan Jejak Karbon yang Lebih Ringan
Biaya
pakan menyerap 60-70% anggaran belanja peternakan, tetapi PLF menawarkan solusi
cerdas. Algoritma seperti Convolutional Neural Networks (CNN) dan Auto-Regressive
Moving Average (ARIMA) menganalisis data berat badan, kondisi tubuh, dan
produksi susu untuk meracik formulasi pakan yang presisi. Kamera RGB-D bahkan
bisa menghitung asupan pakan per ekor sapi secara real-time. Hasilnya,
nutrisi hewan lebih terjamin, sisa pakan berkurang, dan emisi metana dari
pencernaan dapat diminimalkan. Penelitian di Kanada membuktikan bahwa sistem
ini mampu meningkatkan efisiensi pakan hingga 15%, sekaligus menekan jejak
karbon peternakan. Di era krisis iklim, PLF bukan sekadar pilihan—ia adalah
kewajiban moral untuk menjaga keberlanjutan bumi.
Tantangan dan Etika:
Antara Kemajuan dan Keadilan
Meski
menjanjikan, PLF bukan tanpa masalah. Kepemilikan data menjadi isu krusial.
Perusahaan teknologi seperti Monsanto dan John Deere kerap
"memperjualbelikan" data peternak tanpa transparansi, memicu konflik
hak kepemilikan. Selain itu, kesenjangan digital masih menghantui peternak
kecil di negara berkembang—hanya 25% peternak di daerah berpendapatan rendah
yang memiliki akses ke aplikasi pertanian digital. Teknologi seperti pengenalan
wajah sapi (akurasi 98,3%) juga mahal, berisiko memperlebar ketimpangan antara
peternak besar dan kecil. Di sisi lain, algoritma AI rentan bias jika data
latihannya tidak representatif. Untuk itu, kolaborasi pemerintah, ilmuwan, dan
peternak diperlukan untuk menciptakan regulasi yang melindungi hak-hak peternak
sekaligus memastikan teknologi terjangkau dan inklusif.
Penutup
Peternakan Presisi adalah jalan tengah antara tuntutan produktivitas dan etika. Ia menjawab tantangan tanpa mengorbankan kesejahteraan hewan atau masa depan planet. Namun, keberhasilannya bergantung pada kesadaran kolektif: teknologi harus menjadi alat, bukan penguasa. Dengan prinsip transparansi, keadilan, dan keberlanjutan, PLF bukan hanya mimpi—ia adalah masa depan yang bisa kita wujudkan bersama.
Penulis : Drh. Ali Saifudin M.Sc
Referensi
Neethirajan S. The
role of sensors, big data and machine learning in modern animal farming.
Sensing and Bio-Sensing Research. 2020; 29: 100367. https://doi:10.1016/j.sbsr.2020.100367